Membangun Batu Bara: Baharuddin Siagian Hadapi Tantangan Memperluas Ibu Kota
Catatan: Zainuddin Zein
Batu Bara - Perisainusantara.com
Baru dua bulan memegang tampuk kepemimpinan, Bupati Batu Bara H. Baharuddin Siagian langsung dihadapkan pada tantangan besar. Dilantik Presiden RI Prabowo Subianto, ekspektasi masyarakat terhadap percepatan pembangunan, pelayanan, dan kemajuan daerah pun mengemuka, mengingat Batu Bara telah berdiri sendiri sejak berpisah dari Kabupaten Asahan pada 2006.
Sayangnya, geliat kemajuan yang diharapkan belum terlihat. Sejak menjadi kabupaten otonom, perkembangan Batu Bara cenderung stagnan. Belum lagi, baru memulai langkah awal, Baharuddin harus menerima kenyataan pahit: tiga pejabat penting memilih mundur dari jabatan.
Kondisi Limapuluh sebagai ibu kota juga menjadi sorotan. Wajah kota ini belum mencerminkan pusat pemerintahan yang hidup dan berkembang. Meski APBD dalam kondisi defisit dan seruan efisiensi bergema, perluasan wilayah Limapuluh sebagai pusat pemerintahan mutlak diperlukan. Letaknya yang berdampingan dengan KEK Sei Mangkei — kawasan yang dalam waktu dekat akan menyerap ribuan tenaga kerja — menempatkan Limapuluh dalam posisi strategis.
Pertumbuhan penduduk di kawasan perbatasan, seperti Desa Mangkei Lama, Mangkei Baru, dan Sumber Makmur, mulai tampak dengan maraknya pembangunan rumah sewa. Ini membuka peluang baru bagi pergerakan ekonomi daerah yang tak boleh disia-siakan.
Pusat perbelanjaan modern, perumahan baru, serta fasilitas umum lainnya membutuhkan ruang yang cukup. Beruntung, Pemkab Batu Bara telah mengesahkan Perda RTRW No. 11 Tahun 2020, yang memberi dasar hukum bagi perluasan Limapuluh.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pengembangan ini sah, asalkan memenuhi aspek ekonomi, potensi daerah, kependudukan, sosial, hingga pertahanan dan keamanan.
Sebenarnya, ide memperluas Limapuluh sudah digagas sejak masa Bupati OK Arya Zulkarnain, dengan fokus membangun infrastruktur di pesisir timur. Namun realitanya, hingga kini luas wilayah Kelurahan Limapuluh Kota masih bertahan di angka 100 hektare, tanpa perkembangan berarti, bahkan minim ikon kebanggaan.
Di masa kepemimpinan Bupati Zahir, pembangunan kantor bupati baru di lahan eks PT Socfindo seluas 50 hektare sempat memberi harapan. Sayangnya, proyek ini disebut-sebut minim perencanaan matang. Beberapa bangunan mangkrak, memperkuat dugaan adanya pembangunan yang lebih berorientasi pada kepentingan kelompok tertentu.
Kini, estafet pembangunan berada di tangan Bupati Baharuddin dan Wakil Bupati Syafrizal untuk periode 2024-2029. Masih ada sekitar 40 hektare lahan tersisa yang kini malah dimanfaatkan oknum-oknum untuk bertanam ubi dengan dalih ketahanan pangan.
Untuk mewujudkan ibu kota yang ideal, perluasan wilayah harus dirancang ke empat arah utama: menuju Simalungun (Siantar), ke Kisaran, ke Tanjung Tiram, dan ke Medan melalui Simpang Gambus. Dengan keberadaan sejumlah perkebunan besar seperti PTPP Lonsum, PTPN 3, PT Kwala Gunung, dan PT Socfindo, pengembangan hingga 300 hektare lebih sangat memungkinkan.
Bupati Baharuddin kini berada di persimpangan sejarah. Mampukah ia melangkah berani, menggerakkan percepatan pembangunan dan menjadikan Limapuluh sebagai motor penggerak perekonomian Batu Bara ke depan? Jawabannya akan ditentukan oleh keberanian dalam mengambil keputusan dan ketepatan dalam perencanaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar